“It is health that is real wealth and not pieces of gold and silver.”

Rabu, 23 Maret 2011

Sekali Bersin, Ruangan Bisa Terkontaminasi Selama 1 Jam

Menurut laporan terbaru yang dipublikasikan Journal of Royal Society Interface, satu kali bersin bisa mengkontaminasi sebuah ruangan untuk periode waktu lebih dari satu jam.

Peneliti dari Virginia Tech, Amerika Serikat, menganalisis sampel udara dari tiga buah pesawat terbang, ruangtunggu pada sebuah klinik kesehatan, dan tiga ruang perawatan. Hasilnya, separuh sampel udara yang diperoleh mengandung partikel udara yang terkontaminasi virus flu.
“Dari rata-rata satu meter kubik udara yang dijadikan sampel tercatat mengandung lebih dari 16 ribu partikel virus flu,” kata Linsey Marr, ketua tim peneliti dari Virginia Tech, seperti dikutip dari MedIndia


Virus tersebut, menurut Marr, masih tetap aktif di udara meskipun telah lebih dari satu jam keluar dari saluran pernafasan penderita flu yang bersin.



Marr menyebutkan, mengingat tingginya konsentrasi virus tersebut di udara, jika seseorang terus menghirup udara di ruangan tersebut selama satu jam, jumlah virus sudah cukup untuk memicu infeksi.



“Partikel udara yang mengandung virus tersebut cukup kecil hingga memungkinkan satu partikel terkecil sekalipun bisa bertahan selama beberapa hari,” ucap Marr.



Sumber :



Senin, 21 Maret 2011

Air Borne Disease - Penyakit Tuberkulosis (TBC)

Tuberkulosis hingga kini masih jadi masalah kesehatan utama di dunia. Berbagai pihak coba bekerja bersama untuk memeranginya. Bahkan penyakit ini akhirnya “mampu” menggalang dana dari beberapa tokoh dunia seperti Bill Gates dan George Soros, sehingga terbentuk yang dikenal dengan GF ATM (Global Fund against AIDS, TB and Malaria) yang antara lain juga diterima oleh program penanggulangan tuberkulosis di Negara kita. Berbagai kemajuan telah dicapai, antara lain program DOTS dimana Indonesia hamper mencapai target 70/85, artinya sedikitnya 70% pasien TB berhasil ditemukan dan sedikitnya 85% diantaranya berhasil disembuhkan. Di Indonesia juga diperkenalkan beberapa program seperti HDL (Hospital DOTS Linkage) yang melakukan program DOTS di RS, PPP (public privat partnership) atau PPM (public private mix) yang melibatkan sektor private dalam penanggulangan TB di negara kita, Juga akan dilakukan program
DOTS plus untuk menangani MDR TB. Kita tentu berharap agar berbagai upaya ini memberi hasil yang optimal dan untuk itu perlu melibatkan semua stake holder secara aktif dengan member peran dan kesempatan kepada semua pihak secara jelas.

Definisi

Tuberkulosis atau TBC, adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, yang paling umum mempengaruhi paru-paru. Hal ini ditularkan dari orang ke orang melalui tetesan dari tenggorokan dan paru-paru orang-orang dengan penyakit pernapasan aktif. Pada orang sehat, infeksi Mycobacterium tuberculosis seiring tidak menyababkan gejala, karena system kekebalan seseorang bertindak untuk “dinding off” bakteri. Gejala-gejala TB aktif paru adalah batuk, kadang-kadang dengan sputum atau darah, sakit dada, kelemahan, penurunan berat badan, demam dan berkeringat di malam hari. TBC disembuhkan dengan treatment enam bulan antibiotic.
·         Mycobacterium tuberkulosis telah meng-infeksi sepertiga pendudiuk dunia.
·         Pada Tahun 1993, WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit TBC karena pada sebagian besar negara didunia, penyakit TBC tidak terkendali, ini disebabkan banyaknya penderita yang tidah berhasil disembuhkan, terutama penderita menular (BTA positif).
·         Pada tahun 1995 diperkirakan setiap tahun terjadi sekitar 9 juta penderita baru TBC dengan kematian 3 juta orang (WHO, Treatment of Tuberculosis, Guidelines of National Programme 1997) Di negara-negara berkembang kematian
·         TBC merupakan 25% dari seluruh kematian yang sebenarnya dapat dicegah Diperkirakan 95% penderita TBC berada di negara berkembang 75% penderita TBC adalah kelompok usia produktif (15- 50 tahun).
·         Munculnya epidemi HIV/AIDS di dunia, diperkirakan penderita TBC akan meningkat.
·         Kematian wanita karena TBC lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas (WHO).

Masalah Indonesia 
·         Penyakit TBC merupakan masalah utama kesehatan masyarakat :Tahun 1995, hasil survei kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan bahwa penyakit TBC merupakan penyebab kematian nomor tiga (3) setelah Penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia, dan nomor satu (1) dari golongan penyakit infeksi.
·         Tahun 1999, WHO memperkirakan setiap tahun terjadi 583.000 kasus baru TBC dengan kematian karena TBC sekitar 140.000 secara kasar diperkirakan setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 penderita Baru TBC paru BTA positif.
·         Penyakit TBC menyerang sebagian besar kelompok usia kerja belum dapat menjangkau seluruh Puskesmas. Demikian juga Rumah Sakit Pemerintah, Swasta dan unit pelayanan kesehatan lainnya.
·         Tahun 1995–1998 cakupan penderita TBC dengan strategi DOTS baru mencapai sekitar 10% dan error rate pemeriksaan laboratorium belum dihitung dengan baik meskipun cure rate lebih besar dari 85% .
·         Penatalaksanaan penderita dan sistim pencatatan pelaporan belum seragam disemua unit pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.
·         Pengobatan yang tidak teratur dan kombinasi obat yang tidak lengkap dimasa lalu, diduga telah menimbulkan kekebalan ganda kuman TBC terhadap obat Anti–tuberkulosis (OAT) atau Multi Drug Resistance (MDR).

Penyebab Penyakit (TBC)


Penyakit TBC disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Jenis bakteri ini pertama kali ditemukan oleh seseorang yang bernama Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882, Untuk mengenang jasa beliau maka bakteri tersebut diberi nama baksil Koch. Bahkan penyakit TBC pada paru-paru pun dikenal juga sebagai Koch Pulmonum (KP).



Distribusi Penyakit
Tersebar diseluruh dunia. Pada awalnya di Negara industri penyakit tuberkulosis menunjukkan kecenderungan yang menurun baik mortalitas maupun morbiditasnya selama beberapa tahun, namun diakhir tahun 1980 an jumlah kasus yang dilaporkan mencapai grafik mendatar (plateau) dan kemudian meningkat di daerah dengan populasi yang prevalensi HIV–nya tinggi dan di daerah yang dihuni oleh penduduk yang datang dari daerah dengan prevalensi TB tinggi. Mortalitas dan morbiditas meningkat sesuai dengan umur, pada orang dewasa lebih tinggi pada laki-laki. Morbiditas TBC lebih tinggi diantara penduduk miskin dan daerah perkotaan jika dibandingkan dengan pedesaan. Di AS insidensi TBC menurun sejak tahun 1994, penderita yang dilaporkan adalah 9,4/100.000 (lebih dari 24.000 kasus). Daerah dengan insidens rendah termasuk di berbagai wilayah di AS, kebanyakan kasus TBC berasal dari reaktivasi dari fokus laten yang berasal dari infeksi primer. Di sebagian daerah urban yang luas 1/3 kasus berasal dari infeksi baru. Walaupun TBC menempati rangking terendah diantara penyakit menular berdasarkan lama waktu pajanan. Namun pajanan dalam jangka waktu lama dalam lingkungan keluarga menyebabkan risiko terinfeksi sebesar 30%. Jika infeksi terjadi pada anak maka risiko menjadi sakit selama hidupnya sekitar 10%. Bila terjadi koinfeksi dengan HIV risiko pertahun menjadi 2-7% dan risiko kumulatif sebesar 60-80%. KLB dilaporkan terjadi pada kelompok orang yang tinggal pada ruangan yang tertutup seperti dipanti asuhan, penampungan tunawisma, rumah sakit, sekolah, penjara dan gedung perkantoran. Sejak tahun 1989 sampai dengan awal tahun 1990 telah dilaporkan terjadi KLB – MDR yang cukup ekstensif terutama terhadap rifampisin dan INH ditempat dimana banyak penderita HIV yang dirawat. KLB ini menimbulkan angka mortalitas tinggi dan terjadi penularan kepada petugas kesehatan. Dengan penerapan dan pelaksanaan yang ketat pedoman pemberantasan telah berhasil menanggulangi KLB ini. Prevalensi infeksi TB yang ditemukan dengan tes tuberkulin meningkat sesuai dengan umur. Insidensi infeksi di negara berkembang menurun secara bermakna dalam beberapa dekade ini. Angka infeksi pertahun di AS rata-rata kurang dari 10/100.000 penduduk walaupun di beberapa daerah di AS angka kejadian infeksi baru pertahun lebih tinggi. Di daerah dimana terjadi infeksi dengan mycobacterium lain selain tuberkulosis menyebabkan reaksi silang yang menyulitkan interpretasi hasil tes tuberkulin. Infeksi M. bovis pada manusia jarang terjadi di AS tetapi masih menjadi masalah dibeberapa daerah seperti didaerah perbatasan Meksiko dimana penyakit ini pada ternak tidak ditangani dengan baik dan masyarakat masih mengkonsumsi susu mentah.

Reservoir
Umumnya manusia berperan sebagai reservoir, jarang sekali primata, dibeberapa daerah terjadi infeksi yang menyerang ternak seperti sapi, babi dan mamalia lain.

Cara Penularan Penyakit TBC


Penularan penyakit TBC adalah melalui udara yang tercemar oleh Mycobacterium tuberculosis yang dilepaskan/dikeluarkan oleh si penderita TBC saat batuk, dimana pada anak-anak umumnya sumber infeksi adalah berasal dari orang dewasa yang menderita TBC. Bakteri ini masuk kedalam paru-paru dan berkumpul hingga berkembang menjadi banyak (terutama pada orang yang memiliki daya tahan tubuh rendah), Bahkan bakteri ini pula dapat mengalami penyebaran melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening sehingga menyebabkan terinfeksinya organ tubuh yang lain seperti otak, ginjal, saluran cerna, tulang, kelenjar getah bening dan lainnya meski yang paling banyak adalah organ paru.



Masuknya Mycobacterium tuberculosis kedalam organ paru menyebabkan infeksi pada paru-paru, dimana segeralah terjadi pertumbuhan koloni bakteri yang berbentuk bulat (globular). Dengan reaksi imunologis, sel-sel pada dinding paru berusaha menghambat bakteri TBC ini melalui mekanisme alamianya membentuk jaringan parut. Akibatnya bakteri TBC tersebut akan berdiam/istirahat (dormant) seperti yang tampak sebagai tuberkel pada pemeriksaan X-ray atau photo rontgen.


Seseorang dengan kondisi daya tahan tubuh (Imun) yang baik, bentuk tuberkel ini akan tetap dormant sepanjang hidupnya. Lain hal pada orang yang memilki sistem kekebelan tubuh rendah atau kurang, bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak. Sehingga tuberkel yang banyak ini berkumpul membentuk sebuah ruang didalam rongga paru, Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (riak/dahak). Maka orang yang rongga parunya memproduksi sputum dan didapati mikroba tuberkulosa disebut sedang mengalami pertumbuhan tuberkel dan positif terinfeksi TBC.

Berkembangnya penyakit TBC di Indonesia ini tidak lain berkaitan dengan memburuknya kondisi sosial ekonomi, belum optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal dan adanya epidemi dari infeksi HIV. Hal ini juga tentunya mendapat pengaruh besar dari daya tahan tubuh yang lemah/menurun, virulensi dan jumlah kuman yang memegang peranan penting dalam terjadinya infeksi TBC.

Gejala-gejala Penyakit Tuberkulosis (TBC)

Ø  Gejala Utama
Batuk terus menerus dan berdahak selama 3 ( tiga) minggu atau lebih
Ø  Gejala tambahan yang sering dijumpai :
·         Dahak bercampur darah.
·         Batuk darah
·         Sesak nafas dan rasa nyeri dada
·         Badan lemah nafsu makan menurun, berat badan turun rasa kurang enak badan (malaise) berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan deman meriang lebih dari sebulan.
Gejala-gejala tersebut diatas dijumpai pula pada penyakit paru selain tuberkulosis . Oleh sebab itu setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas harus dianggap sebagai seorang “  Suspek tuberkulosis “ atau tersangka penderita TBC dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.

Penemuan Penderita Tuberkulosis ( TBC )
Ø  Penemuan penderita tuberkulosis pada orang dewasa
Penemuan penderita TBC dilakukan secara pasif artinya penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan.Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita cara ini biasa dikenal dengan sebutan passive promotive case finding ( penemuan penderita secara pasif dengan promosi yang aktif ). Selain itu semua kontak penderita TBC Paru BTA positif dengan gejala sama harus diperiksa dahaknya. Seorang petugas kesehatan diharapkan menemukan tersangka penderita sedini mungkin, mengingat tuberkulosis adalah penyakit menular yang dapat mengakibatkan kematian. Semua tersangka penderita harus diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari berturut-turut yaitu sewaktu pagi sewaktu ( SPS ).
Ø  Penemuan penderita tuberkulosis pada anak
Penemuan penderita tuberkulosis pada anak merupakan hal yang sulit sebagian besar diagnosis tiberkulosis anak didasarkan atas gambar klinis gambar radiologis dan uji tuberculin.

Diagnosis Tuberkulosis (TBC)

Ø  Diagnosis tuberkulosis pada orang Dewasa
Diagnosis TBC Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen SPS BAT hasilnya positif.

Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang
·         Kalau hasil rontgen mendukung TBC, maka penderita didiagnosis sebagai penderita TBC BBBBBBts positif
·         Kalau hasil rontgen tidak mendukung TBC maka pemeriksaan dahak SPS diulangi
Apabila fasilitas memungkinkan maka dilakukan pemeriksaan lain misalnya biakan.
Bila ketiga spemen dahak hasilnya negatif  diberikan antibiotik spektrum luas ( misalnya kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1-2 minggu bila tida ada perubahan namun gejala klinis tetap mencurigakan TBC ulangi pemeriksaan dahak SPS.
·         Kalau hasil SPS positif diagnosis sebagai penderita TBC BTA positif
·         Kalau hasil SPS tetap negatif lakukan pemeriksaan foto rontgen dada untuk mendukung diagnosis TBC
Bila hasil rontgen mendukung TBC didiagnosis sebagai penderita TBC BTA negatif rontgen positif
Bila hasil rantgen tidak di dukung TBC penderita tersebut bukan TBC
UPK yang tidak memiliki fasilitas rontgen penderita dapat dirujuk untuk foto rontgen dada

Ø  Diagnosis Tuberkulosis pada anak
Diagnosis paling tepat adalah dengan ditemukan kuman TBC dari bahan yang diambil dari penderita misalnya dahak bilasan lambung biopsi dll. Tetapi pada anak hal ini sulit dan jarang didapat sehingga sebagian besar diagnasis TBC anak didasarkan atas gambar klinis gambar foto rontgen dada dan uji tuberkulin. Untuk itu penting memikirkan adanya TBC pada anak kalau terdapat tanda tanda yang mencurigakan atau gejala gejala seperti dibawah ini :
1) Seorang anak harus dicurugai menderita tuberkulosis kalau
·         Mempunyai sejarah kontak erat ( serumah ) dengan penderita TBC BTA positif
·         Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikan BCG ( dalam 3–7 hari )
·         Terdapat gejala umum TBC
2) Gejala umum TBC pada anak
·         Berat badab turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas dan tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi yang baik (failure to thrive).
·          Nafsu makan tidak ada (anorexia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik (failure to thrive) dengan adekuat.
·         Demam lama/berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria atau infeksi saluran nafas akut) dapat disertai keringat malam.
·         Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit biasanya multipel paling sering didaerah leher ketiak dan lipatan paha (inguinal).
·         Gejala –gejala dari saluran nafas misalnya batuk lama lebih dari 30 hari (setelah disingkirkan sebab lain dari batuk) tanda cairan didada dan nyeri dada.
·         Gejala-gejala dari saluran cerna misalnya diare berulang yang tidak sembuh dengan pengobatan diare benjolan (masa) di abdomen dan tanda-tanda cairan dalam abdomen.
3) Gejala spesifik
Gejala-gejala ini biasanya tergantung pada bagian tubuh mana yang terserang misalnya :
·         TBC Kulit/skrofuloderma
·         TBC tulang dan sendi :
-           Tulang punggung ( spondilitis ) : gibbus
-          Tulang panggul ( koksitis ) : pincang pembengkakan dipinggul
-          Tulang lutut : pincang dan / atau bengkak
-          Tulang kaki dan tangan
·         TBC Otak dan Saraf:
Meningitis : dengan gejala iritabel kaku kuduk muntah-muntah dan kesadaran menurun
·         Gejala mata
-          Konjungtivitis fliktenularis
-          Tuberkel koroid ( hanya terlihat dengan funduskopi )
-          Lain-lain
4) Uji Tuberkulin ( Mantoux )
Uji tuberkulin dilakukan dengan cara Mantoux ( pernyuntikan intrakutan ) dengan semprit tuberkulin 1 cc jarum nomor 26. Tuberkulin yang dipakai adalah tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2 TU. Pembacaandilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Diukur diameter transveral dari indurasi yang terjadi. Ukuran dinyatakan dalam milimeter, uji tuberkulin positif bila indurasi >10 mm ( pada gizi baik ), atau >5 mm pada gizi buruk.
Bila uji tuberkulin positif, menunjukkan adanya infeksi TBC dan  kemungkinan ada TBC aktif pada anak. Namun uji tuberkulin dapat negatif pada anak TBC dengan anergi ( malnutrisi , penyakit sangat berat pemberian imunosupresif, dll ).Jika uji tuberkulin meragukan dilakukan uji ulang.
5) Reaksi Cepat BCG
Bila dalam penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat ( dalam 3-7 hari ) berupa kemerahan dan indurasi > 5 mm, maka anak tersebut dicurigai telah terinfeksi Mycobacterium tubercolosis.
6) Foto Rontgen dada
Gambar rontgen TBC paru pada anak tidak khas dan interpretasi foto biasanya sulit, harus hati-hati kemungkinan bisa overdiagnosis atau underdiagnosis. Paling mungkin kalau ditemukan infiltrat dengan pembesar kelenjar hilu atau kelenjar paratrakeal.
Gejala lain dari foto rontgen yang mencurigai TBC adalah:
·         Milier
·         Atelektasis /kolaps konsolidasi
·         Infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal
·         Konsolidasi ( lobus )
·         Reaksi pleura dan atau efusi pleura
·         Kalsifikasi
·         Bronkiektasis
·         Kavitas
·         Destroyed lung
Bila ada diskongruensi antara gambar klinis dan gambar rontgen harus dicurigai TBC.Foto rontgen dada sebaiknya dilakukan PA ( postero- Anterior ) dan lateral, tetapi kalau tidak mungkin PA saja.
7) Pemeriksaan mikrobiologi dan serologi
 Pemeriksaan BTA secara mikroskopis langsung pada anak biasanya dilakukan dari bilasan lambung karena dahak sulit didapat pada anak. Pemeriksaan BTA secara biakan ( kultur ) memerlukan waktu yang lama cara baru untuk mendeteksi kuman TBC dengan cara PCR ( Polymery chain Reaction ) atau Bactec masih belum dapat dipakai dalam klinis praktis. Demikian juga pemeriksaan serologis seperti Elisa, Pap, Mycodot dan lain-lain masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk pemakaian dalam klinis praktis.
8) Respons terhadap pengobatan dengan OAT
Kalau dalam 2 bulan menggunakan OAT terdapat perbaikan klinis akan menunjang atau memperkuat diagnosis TBC,Bila dijumpai 3 atau lebih dari hal-hal yang mencurugakan atau gejala-gejala klinis umum tersebut diatas, maka anak tersebut harus dianggap TBC dan diberikan pengobatan dengan OAT sambil di observasi selama 2 bulan . bila menunjukan perbaikan, maka diagnosis TBC dapat  dipastikan dan OAT diteruskan sampai penderita tersebut sembuh. Bila dalam observasi dengan pemberian OAT selama 2 bulan tersebut diatas, keadaan anak memburuk atau tetap, maka anak tersebut bukan TBC atau mungkin TBC tapi kekebalan obat ganda aatau  Multiple Drug Resistent ( MDR  ), Anak yang tersangka MDR perlu dirujuk ke rumah Sakit untuk mendapat penatalaksanaan spesialistik lebih jelas, lihat “ alur Deteksi
Dini dan Rujukan TBC Anak “ pada halaman berikut.
Penting diperhatikan bahwa bila pada anak dijumpai gejala-gejala berupa kejang kesadaran menurun, kaku kuduk, benjolan dipunggung maka ini merupakan tanda-tanda bahaya,anak tersebut harus segera dirujuk ke Rumash Sakit untuk penatalaksanaan selanjutnya. Penjaringan Tersangka Penderita TBC . Anak bisa berasal dari keluarga penderita BTA positif ( Kontak serumah ), masyarakat ( kunjungan posyandu ) , atau dari penderita –penderita yang berkunjung ke Puskesmas maupun yang langsung ke Rumah Sakit.


Strategi Penanggulangan Penyakit Tuberkulosis (TBC)
ü  Paradigma Sehat
1) Meningkatkan penyuluhan untuk menemukan kontak sedini mungkin serta meningkatkan cakupan Program.
2) Promosi Kesehatan dalam rangka meningkatkan perilaku hidup sehat.
3) Perbaikan perumahan serta peningkatan status gizi pada kondisi tertentu.
ü  Strategi DOTS, sesuai rekomendasi WHO, terdiri atas 5 kompomen
1) Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana.
2) Diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
3) Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas menelan obat (PMO)
4) Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.
5) Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TBC.
ü  Peningkatan mutu pelayanan
1) Pelatihan seluruh tenaga pelaksana.
2) Ketepatan diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopik.
3) Kualitas laboratorium diawasi melalui pemeriksaan uji silang (cross check)
4) Untuk menjaga kualitas pemeriksaan laboratorium, dibentuklah KPP (kelompok Puskesmas Pelaksana) terdiri dari 1 (satu) PRM (Puskesmas Rujukan Mikroskopik) dan beberapa PS (Puskesmas Satelit) Untuk daerah dengan geografis sulit dapat dibentuk PPM (Puskesmas Pelaksana Mandiri).
5) Ketersediaan OAT bagi semua penderita TBC yang ditemukan.
6) Pengawasan kualitas OAT dilaksanakan secara berkala dan terus menerus.
7) Keteraturan menelan obat sehari-hari diawasi oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) keteraturan pengobatan tetap merupakan tanggung jawab petugas kesehatan.
8) Pencatatan dan pelaporan dilaksanakan dengan teratur, lengkap dan benar. Pengembangan program dilakukan secara bertahap ke seluruh UPK.
ü  Peningkatan kerjasama dengan semua pihak melalui kegiatan advokasi diseminasi informasi dengan memperhatikan peran masing-masing.
ü  Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program meliputi : Perencanaan pelaksana monotoring dan evaluasi serta mengupayakan sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana).
ü  Kegiatan penelitian dan pengembangan dilaksanakan dengan melibatkan semua unsur terkait.
ü  Memperhatikan komitmen internasional.

Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan sekitarnya
1). Laporkan segera kepada instansi kesehatan setempat jika ditemukan penderita TB atau yang diduga menderita TB. Penyakit TB wajib dilaporkan di AS dan hampir di semua negara di dunia kelas 2A (lihat tentang pelaporan penyakit menular). Penderita TB perlu dilaporkan jika hasil pemeriksaan bakteriologis hasilnya positif atau tes tuberkulinnya positif atau didasarkan pada gambaran klinis dan foto rontgen. Departemen Kesehatan mempertahankan sistem pencatatan dan pelaporan yang ada bagi penderita yang membutuhkan pengobatan dan aktif dalam kegiatan perencanaan dan monitoring pengobatan.
2). Isolasi: Untuk penderita TB paru untuk mencegah penularan dapat dilakukan dengan pemberian pengobatan spesifik sesegera mungkin. Konversi sputum biasanya terjadi dalam 4 – 8 minggu. Pengobatan dan perawatan di Rumah Sakit hanya dilakukan terhadap penderita berat dan bagi penderita yang secara medis dan secara sosial tidak bisa dirawat di rumah. Penderita TB paru dewasa dengan BTA positif pada sputumnya harus ditempatkan dalam ruangan khusus dengan ventilasi bertekanan negatif. Penderita diberitahu agar menutup mulut dan hidung setiap saat batuk dan bersin. Orang yang memasuki ruang perawatan penderita hendaknya mengenakan pelindung pernafasan yang dapat menyaring partikel yang berukuran submikron. Isolasi tidak perlu dilakukan bagi penderita yang hasil pemeriksaan sputumnya negatif, bagi penderita yang tidak batuk dan bagi penderita yang mendapatkan pengobatan yang adekuat (didasarkan juga pada pemeriksaan sensitivitas/resistensi obat dan adanya respons yang baik terhadap pengobatan). 550 Penderita remaja harus diperlakukan seperti penderita dewasa. Penilaian terus menerus harus dilakukan terhadap rejimen pengobatan yang diberikan kepada penderita. Terapkan sistem DOPT apabila secara finansial dan logistik memungkinkan dan diterapkan pada penderita yang kemungkinan mengalami resistensi terhadap pengobatan, adanya riwayat compliance yang jelek, diberlakukan juga terhadap mereka yang hidup dalam lingkungan dimana kalau terjadi relaps dapat menularkan kepada banyak orang.
3). Pencegahan infeksi: Cuci tangan dan praktek menjaga kebersihan rumah harus dipertahankan sebagai kegiatan rutin. Tidak ada tindakan pencegahan khusus untuk barang-barang (piring, sprei, pakaian dan lainnya). Dekontaminasi udara dengan cara ventilasi yang baik dan bisa ditambahkan dengan sinar UV.
4). Karantina: Tidak diperlukan.
5). Penanganan kontak. Di AS terapi preventif selama 3 bulan bila skin tes negatif harus diulang lagi, imunisasi BCG diperlukan bila ada kontak dengan penderita.
6). Investigasi kontak, sumber penularan dan sumber infeksi: Tes PPD direkomendasikan untuk seluruh anggota keluarga bila ada kontak. Bila hasil negatif harus diulang 2-3 bulan kemudian. Lakukan X-ray bila ada gejala yang positif. Terapi preventif bila ada reaksi positif dan memiliki risiko tinggi terjadi TBC aktif (terutama untuk anak usia 5 tahun atau lebih) dan mereka yang kontak dengan penderita HIV (+), diberikan minimal sampai skin tes negatif. Sayang sekali di negara berkembang penelusuran kontak didasarkan hanya pada pemeriksaan sputum pada orang yang memiliki gejala-gejala TBC.
7). Terapi spesifik: Pengawasan Minum obat secara langsung terbukti sangat efektif dalam pengobatan TBC di AS dan telah direkomendasikan untuk diberlakukan di AS. Pengawasan minum obat ini di AS disebut dengan sistem DOPT, sedangkan Indonesia sebagai negara anggota WHO telah mengadopsi dan mengadaptasi sistem yang sama yang disebut DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse). Penderita TBC hendaknya diberikan OAT kombinasi yang tepat dengan pemeriksaan sputum yang teratur. Untuk penderita yang belum resisten terhadap OAT diberikan regimen selama 6 bulan yang terdiri dari isoniazid (INH), Rifampin (RIF) dan pyrazinamide (PZA) selama 2 bulan kemudia diikuti dengan INH dan PZA selama 4 bulan. Pengobatan inisial dengan 4 macam obat termasuk etambutol (EMB) dan streptomisin diberikan jika infeksi TB terjadi didaerah dengan peningkatan prevalensi resistensi terhadap INH. Namun bila telah dilakukan tes sensititvitas maka harus diberikan obat yang sesuai. Jika tidak ada konversi sputum setelah 2-3 bulan pengobatan atau menjadi positif setelah beberapa kali negatif atau respons klinis terhadap pengobatan tidak baik, maka perlu dilakukan pemeriksaan terhadap kepatuhan minum obat dan tes resistensi. Kegagalan pengobatan umumnya karena tidak teraturnya minum obat dan tidak perlu merubah regimen pengobatan. Perubahan Supervisi dilakukan bila tidak ada perubahan respons klinis penderita. Minimal 2 macam obat dimana bekteri tidak resisten harus ada dalam regiemen pengobatan. Jangan sampai menambahkan satu jenis obat baru pada kasus yang gagal. Jika INH atau rifampisin tidak dapat dimasukkan kedalam regimen maka lamanya pengobatan minimal selama 18 bulan setelah biakan menjadi negatif. 551 Untuk penderita baru TBC paru dengan BTA (+) di negara berkembang, WHO merekomendasikan pemberian 4 macam obat setiap harinya selama 2 bulan yang teridiri atas RIF, INH, EMB, PZA diikuti dengan pemberian INH dan RIF 3 kali seminggu selama 4 bulan. Semua pengobatan harus diawasi secara langsung, jika pada pengobatan fase kedua tidak dapat dilakukan pengawasan langsung maka diberikan pengobatan substitusi dengan INH dan EMB selama 6 bulan. Walaupun pengobatan jangka pendek dengan 4 macam obat lebih mahal daripada pengobatan dengan jumlah obat yang lebih sedikit dengan jangka waktu pengobatan 12- 18 bulan namun pengobatan jangka pendek lebih efektif dengan komplians yang lebih baik. Penderita TBC pada anak-anak diobati dengan regimen yang sama dengan dewasa dengan sedikit modifikasi. Kasus resistensi pada anak umumnya karena tertular dari penderita dewasa yang sudah resisten terlebih dahulu.Anak dengan limfadenopati hilus hanya diberikan INH dan RIF selama 6 bulan. Pengobatan anak-anak dengan TBC milier, meningitis, TBC tulang/sendi minimal selama 9-12 bulan, beberapa ahli menganjurkan pengobatan cukup selama 9 bulan. Etambutol tidak direkomendasikan untuk diberikan pada anak sampai anak cukup besar sehingga dapat dilakukan pemeriksaan buta warna (biasanya usia > 5 tahun). Penderita TBC pada anak dengan keadaan yang mengancam jiwa harus diberikan pengobatan inisial dengan regimen dengan 4 macam obat. Streptomisin tidak boleh diberikan selama hamil. Semua obat kadang-kadang dapat menimbulkan reaksi efek samping yang berat. Operasi toraks kadang diperlukan biasanya pada kasus MDR.

Pengobatan Penderita TBC
Ø  Tujuan Pengobatan
ü  Menyembuhkan penderita
ü   Mencegah kematian
ü  Mencegah kekambuhan
ü  Menurunkan tingkat penularan

Ø  Jenis dan Dosis OAT
a) Isoniasid ( H )
Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90 % populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sanat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang sedang berkembang,Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kk BB,sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB.
b) Rifampisin ( R )
Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman semi  –dormant ( persister ) yang tidak dapat dibunuh oleh isoniasid dosis 10 mg/kg BB diberikan sama untuk mengobatan harian maupun intermiten 3 kal seminggu.
c) Pirasinamid ( Z )
Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB ,sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB.
d) Streptomisin ( S )
Bersifat bakterisid . Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama penderita berumur sampai 60 tahun dasisnya 0,75 gr/hari sedangkan unuk berumur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50 gr/hari.
e) Etambulol ( E)
Bersifat sebagai bakteriostatik . Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kg/BB.
Ø  Prinsip Pengobatan
Obat TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman persister) dapat dibunuh.Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong.
Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman TBC akan berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten). uNtuk menjamin kepatuhan penderita menelan obot , pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT=Direcly Observed Treatment) oleh seorang pengawas Menelan Obat (PMO )Pengobatan TBC diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap Intensif
Pada tahap intensif ( awal ) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OATterutama rifampisin . Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan  secara tepat biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalamkurun waktu 2 minggu sebagian besar penderita TBC BTA positif menjadi BTA negatif ( konversi ) pada akhir pengobatan intensif.
**Pengawasan Ketat dalam tahap intensif sangat penting untuk mencegah terjadinya kekebalan obat.**
Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit , namum dalam jangka waktu yang lebih lama
**Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister ( dormant ) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan**

Referensi :
XDR TB, extensive drug resistant TB. Awareness and Emergency Response. Short Briefing Note. WHO Stop TB Partnership, September 2006.
Chin,James MD, MPH. Kandun, I Nyoman.2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Edisi 17
Anonim.2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Cetakan ke-8. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.


Razanahtulhaq Azzahra
E2A009089/R.1


Minggu, 20 Maret 2011

**Rubbish, Human Being, and Environmental Health**

What are you say about this picture??


There are real condition in TPA Jatibarang-Semarang....

A calf dream is run in green field, not in trash field

Can cows producing fresh milk for human being??

Food and Water Borne Disease - Demam Tifoid

Apakah Foodborne Disease atau Penyakit Bawaan Bahan Pangan ?
Foodborne Disease disebabkan akibat konsumsi makanan atau minuman yang telah terkontaminasi. Pelbagai jenis mikroba penyebab penyakit (patogen) dapat mencemari makanan, hal ini menyebabkan banyaknya jenis infeksi. Sebagai tambahan, zat kimia beracun maupun zat-zat dasar lain yang mengandung bahaya, jika terkandung di dalam makanan yang kita konsumsi pun dapat menyebabkan penyakit.

Apakah Waterborne disease atau Penyakit bawaan air?
Penyakit bawaan air terjadi jika air menjadi tercemar. Agens  penyakit bawaan air mencakup virus, bakteri, parasit dan zat kimia. Agens virus bawaan air dan penyakit yang ditimbulkannya antara lain; virus poliomyelitis (polio) dan virus hepatitis A (hepatitis). Bakteri bawaan air dan penyakit yang ditimbulkannya antara lain, Escherichia coli,salmonella typhi (demam tifoid), shigella spp. (disentri basiler), dan vibrio cholera (kolera). Parasit bawaan air meliputi entamoeba histolytica (amebiasis atau disentri amuba), giardia lamblia (giardiasis), dan cryptosporidiumparvum (kriptosporidiosis). Masing-masing penyakit tersebut dapat menimbulkan akibat yang serius.

Apakah penyakit demam tifoid itu?
Tifoid berasal dari bahasa Yunani yang berarti “smoke”, karena terjadi penguapan panas tubuh serta gangguan kesadaran disebabkan demam yang tinggi. Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Demam tifoid merupakan penyakit endemis di beberapa Negara berkembang, dimana sanitasi lingkungan kurang dijaga dengan baik. Bakteri tifoid ditemukan di dalam tinja dan air kemih penderita. Penyebaran bakteri ke dalam makanan atau minuman bisa terjadi akibat pencucian tangan yang kurang bersih setelah buang air besar maupun setelah berkemih, Lalat juga bisa menyebarkan bakteri secara langsung dari tinja ke makanan.
Bakteri Salmonella typhi masuk ke dalam saluran pencernaan dan bisa masuk ke dalam peredaran darah. Hal ini akan diikuti oleh terjadinya peradangan pada usus halus dan usus besar. Pada kasus yang berat, yang bisa berakibat fatal, jaringan yang terkena bisa mengalami perdarahan dan perforasi(perlubangan). Sekitar 3% penderita yang terinfeksi oleh Salmonella typhi dan belum mendapatkan pengobatan, di dalam tinjanya akan ditemukan bakteri ini selama lebih dari 1 tahun. Beberapa dari pembawa bakteri ini tidak menunjukkan gejala-gejala dari demam tifoid.

Apa yang menjadi Penyebab penyakit demam tifoid?

Kelas : Psilopsida
Ordo : Psilotales
Family : Psilotaceae
Genus : Salmonella
Species : Salmonella typhi

Habitat Inang bagi Salmonella adalah usus halus manusia dan hewan. Makanan dan minuman terkontaminasi merupakan mekanisme transmisi kuman Salmonella dan carrier adalah sumber infeksi. Salmonella typhi bisa berada dalam air, es, debu, sampah kering yang bila organisme ini masuk ke dalam vehicle yang cocok (daging, kerang dan sebagainya) akan berkembang biak mencapai dosis infekti.

Dimensi Bakteri berbentuk batang, tidak berspora dan tidak bersimpai tetapi mempunyai flagel feritrik (fimbrae), pada pewarnaan gram bersifat gram negatif, ukuran 2 - 4 mikrometer x 0.5 - 0.8 mikrometer dan bergerak. Salmonella typhi merupakan bakteri fakultatif intraseluler. Salmonella juga memiliki dua pathogenicity island yaitu SPI-1 dan SPI-2. SP-2 mengandung gen esensial untuk infeksi sistemik, replikasi intraseluler dan TTSS (type III secretion system) yang melindungi bakteri untuk tetap hidup dari proses degradasi.
Potensi Demam tifoid yang disebabkan oleh Salmonella typhi merupakan penyakit sistemik, bersifat endemik, dan masih merupakan problema kesehatan diberbagai Negara berkembang di dunia.
Salmonella typhi memiliki protein adhesin type-] fimbriae sebagai faktor virulensi yang berpotensi imunogenik untuk membentuk SigA protektif guna menghambat proses adhesi dan kolonisasi sehingga tahap awal infeksinya dapat dicegah. Fisiologis Pada umumnya isolat kuman Salmonella dikenal dengan sifat sifat, gerak positif, reaksi fermentasi terhadap manitol dan sorbitol positif dan memberikan hasil negatif pada reaksi indol, laktosa, Voges Praskauer dan KCN. Sebagian besar isolat Salmonella yang berasal dari bahan klinik menghasilkan H2S. Samonella thypi hanya membentuk sedikit H2S dan tidak membentuk gas pada fermentase glukosa. Pada agar SS,Endo, EMB dan MacConkey koloni kuman berbentuk bulat, kecil dan tidak berwana, pada agar Wilson Blair koloni kuman berwarna hitam berkilat logam akibat pembentukan H2S


Bagaimana distribusi penyakit demam tifoid?
Penyakit ini tersebar merata diseluruh dunia. Insidensi penyakit demam tifoid diseluruh dunia mencapai 17 juta setahun dengan jumlah kematian sebanyak 600.000 orang. Di Amerika Serikat demam tifoid muncul sporadis dan relatif konstan berkisar antara 500 kasus setahun selama bertahun-tahun (bandingkan dengan demam tifoid yang dilaporkan sebanyak 2484 pada tahun 1950).Dengan memasyarakatnya perilaku hidup bersih dan sehat, memasyarakatnya pemakaian jamban yang saniter maka telah terjadi penurunan kasus demam Tifoid, dan yang terjadi di Amerika Serikat adalah kasus import dari daerah endemis. Sekarang sering ditemukan strain yang resisten terhadap kloramfenikol dan terhadap antibiotika lain yang umum digunakan untuk demam tifoid.
Kebanyakan isolat yang dikumpulkan pada tahun 90an dari Asia Tenggara, Asia Selatan, Timur Tengah dan Afrika Timur Laut adalah strain yang membawa plasmid dengan faktor R yang membawa kode resistens terhadap berbagai jenis antibiotika yang dulu umum dipakai untuk mengobati demam tifoid seperti kloramfenikol, amoksisilin, trimetroprim/sulfametoksasol. Demam paratifoid muncul secara sporadis atau muncul sebagai KLB terbatas, mungkin juga kejadiannya lebih banyak daripada yang dilaporkan. DI AS dan Kanada demam paratifoid jarang teridentifikasi. Dari ketiga jenis demam paratifoid, paratifoid B adalah yang paling sering ditemukan, paratifoid A lebih jarang dan yang paling jarang adalah paratifoid C.

Siapakah reservoir penyakit demam tifoid?
Manusia merupakan reservoir bagi tifoid maupun paratifoid; walapun jarang binatang peliharaan dapat berperan sebagai reservoir bagi paratifoid. Kontak dalam lingkungan keluarga dapat berupa carrier yang permanen atau carrier sementara. Status carrier dapat terjadi setelah serangan akut atau pada penderita subklinis. Sedangkan carrier kronis sering terjadi pada mereka yang kena infeksi pada usia pertengahan terutama pada wanita; carrier biasanya mempunyai kelainan pada saluran empedu termasuk adanya batu empedu. Status carrier kronis pada saluran kemih terjadi pada penderita schitosomiasis. Pernah terjadi KLB demam paratifoid di Inggris, sapi perah yang mengeluarkan mikroorganisme Paratyphi B didalam susu dan kotoran mereka diketahui sebagai penyebab terjadinya KLB.
Sembilan puluh persen kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Pada minggu pertama sakit, demam tifoid sangat sukar dibedakan dengan penyakit
demam lainnya. Untuk memastikan diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi.

Bagaimana cara-cara penularannya?
Sumber penyebab lebih banyak disebabkan kuman yang menempel di bekas cucian gelas, sendok, piring dan sebagainya dengan kondisi air cucian yang tak diganti, tangan yang kotor. Bakteri ini umumnya terdapat dalam makanan yang sudah basi, daging mentah, maupun kotoran.
Penularan terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh tinja dan urin dari penderita atau carrier. Dibeberapa negara penularan terjadi karena mengkonsumsi kerang-kerangan yang berasal dari air yang tercemar, buah-buahan, sayur-sayuran mentah yang dipupuk dengan kotoran manusia, susu dan produk susu yang terkontaminasi oleh carrier atau penderita yang tidak teridentifikasi. Lalat dapat juga berperan sebagai perantara penularan memindahkan mikroorganisme dari tinja ke makanan. Di dalam makanan mikroorganisme berkembang biak memperbanyak diri mencapai dosis infektif, dimana dosisnya lebih rendah pada tifoid dibandingkan dengan paratifoid.

Bagaimana gejala dan tanda seseorang terserang penyakit demam tifoid?
Biasanya gejala mulai timbul secara bertahap dalam waktu 8-14 hari setelah terinfeksi. Gejalanya bisa berupa demam, sakit kepala, nyeri sendi, sakit tenggorokan, sembelit, penurunan nafsumakan dan nyeri perut. Kadang penderita merasakan nyeri ketika berkemih dan terjadi batuk serta perdarahan dari hidung.
Jika pengobatan tidak dimulai, maka suhu tubuh secara perlahan akan meningkat dalam waktu 2-3 hari, yaitu mencapai 39,4-40°C selama 10-14 hari. Panas mulai turun secara bertahap pada akhir minggu ketiga dan kembali normal pada minggu keempat. Demam seringkali disertai oleh denyut jantung yang lambat dan kelelahan yang luar biasa. Pada kasus yang berat bisa terjadi delirium, stupor atau koma.
Pada sekitar 10% penderita timbul sekelompok bintik-bintik kecil berwarna merah muda di dada dan perut pada minggu kedua dan berlangsung selama 2-5 hari.

Bagaimana cara diagnose penyakit demam tifoid?
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan fisik.  Untuk memperkuat diagnosis, dilakukan biakan darah, tinja, air kemih atau jaringan tubuh lainnya guna menemukan bakteri penyebabnya.

Bagaimana tatalaksana penyakit demam tifoid?
Tirah baring selama demam sampai dengan 2 minggu normal kembali. Dengan antibiotik yang tepat, lebih dari 99% penderita dapat disembuhkan. Antibiotik yang banyak digunakan adalah kloramfenikol 100mg/kg/hari dibagi dalam 4 dosis selama 10 hari. Dosis maksimal kloramfenikol 2g/hari. Kloramfenikol tidak bias diberikan bila jumlah leukosit < 2000 ul. Bila pasien alergi, dapat diberikan golongan penisilin atau kotrimoksazol. Kadang makanan diberikan melalui infus sampai penderita dapat mencerna makanan. Jika terjadi perforasi usus, diberikan antibiotik berspektrum luas (karena berbagai jenis bakteri akan masuk ke dalam rongga perut) dan mungkin perlu dilakukan pembedahan untuk memperbaiki atau mengangkat bagian usus yang mengalami perforasi.

Apa yang terjadi bila terjadi komplikasi demam tifoid?
·        Sebagian besar penderita mengalami penyembuhan sempurna, tetapi bisa terjadi komplikasi, terutama pada penderita yang tidak diobati atau bila pengobatannya terlambat
·         Banyak penderita yang mengalami perdarahan usus; sekitar 2% mengalami perdarahan hebat. Biasanya perdarahan terjadi pada minggu ketiga.
·         Perforasi usus terjadi pada 1-2% penderita dan menyebabkan nyeri perut yang hebat karena isi usus menginfeksi ronga perut (peritonitis).
·         Pneumonia bisa terjadi pada minggu kedua atau ketiga dan biasanya terjadi akibat infeksi pneumokokus (meskipun bakteri tifoid juga bisa menyebabkan pneumonia).
·         Infeksi kandung kemih dan hati.
·         Infeksi darah (bakteremia) kadang menyebabkan terjadinya infeksi tulang (osteomielitis), infeksi katup jantung (endokarditis), infeksi selaput otak (meningitis), infeksi ginjal (glomerulitis) atau infeksi saluran kemih-kelamin.
Pada sekitar 10% kasus yang tidak diobati, gejala-gejala infeksi awal kembali timbul dalam waktu 2 minggu setelah demam mereda.

Inilah cara-cara penanggulangan demam tifoid ^,^
A. Cara-cara Pencegahan
1). Berikan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya mencuci tangan setelah buang air besar dan sebelum memegang makanan dan minuman, sediakan fasilitas untuk mencuci tangan secukupnya. Hal ini terutama penting bagi mereka yang pekerjaannya sebagai penjamah makanan dan bagi mereka yang pekerjaannya merawat penderita dan mengasuh anak-anak.
 2). Buanglah kotoran pada jamban yang saniter dan yang tidak terjangkau oleh lalat. Pemakaian kertas toilet yang cukup untuk mencegah kontaminasi jari. Ditempat yang tidak ada jamban, tinja ditanam jauh dari sumber air dihilir.
3). Lindungi sumber air masyarakat dari kemungkinan terkontaminasi. Lakukan pemurnian dan pemberian klorin terhadap air yang akan didistribusikan kepada masyarakat. Sediakan air yang aman bagi perorangan dan rumah tangga. Hindari kemungkinan terjadinya pencemaran (backflow) antara sistem pembuangan kotoran (sewer system) dengan sistem distribusi air. Jika bepergian untuk tujuan pikinik atau berkemah air yang akan diminum sebaiknya direbus atau diberi bahan kimia.
 4). Berantas lalat dengan menghilangkan tempat berkembang biak mereka dengan sistem pengumpulan dan pembuangan sampah yang baik. Lalat dapat juga diberantas dengan menggunakn insektisida, perangkap lalat dengan menggunakan umpan, pemasangan kasa. Jamban konstruksinya dibuat sedemikian rupa agar tidak dapat dimasuki lalat.
5). Terapkan standar kebersihan pada waktu menyiapkan dan menangani makanan; simpan makanan dalam lemari es pada suhu yang tepat. Perhatian khusus harus diberikan pada salad dan makanan lain yang dihidangkan dalam keadaan dingin. Standar kebersihan ini berlaku untuk makanan yang disiapkan dirumah tangga maupun yang akan disajikan untuk umum. Jika kita kurang yakin akan standar kebersihan ditempat kita makan, pilihlah makanan yang panas dan buah-buahan sebaiknya dikupas sendiri.
6). Lakukan pasteurisasi terhadap susu dan produk susu. Lakukan pengawasan yang ketat terhadap sanitasi dan aspek kesehatan lainnya terhadap produksi, penyimpanan dan distribusi produk susu.
7). Terapkan peraturan yang ketat tentang prosedur jaga mutu terhadap industri yang memproduksi makanan dan minuman. Gunakan air yang sudah diklorinasi untuk proses pendinginan pada waktu dilakukan pengalengan makanan.
 8). Batasi pengumpulan dan penjualan kerang-kerangan dari sumber yang jelas yang tidak tercemar. Rebuslah kerang sebelum dihidangkan. 560
9). Beri penjelasan yang cukup kepada penderita, penderita yang sudah sembuh dan kepada carrier tentang cara-cara menjaga kebersihan perorangan. Budayakan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar dan sebelum menyiapkan makanan.
10). Promosikan pemberian air susu ibu kepada bayi yang sedang menyusui. Rebuslah susu dan air yang akan dipakai untuk makanan bayi.
11). Carrier dilarang untuk menangani/menjamah makanan dan dilarang merawat penderita. Lakukan identifikasi terhadap carrier dan lakukan pengawasan terhadap mereka. Pembuatan kultur dari sampel limbah dapat membantu untuk menentukan lokasi carrier. Carrier kronis harus diawasi dengan ketat dan dilarang melakukan pekerjaan yang dapat menularkan penyakit kepada orang lain. Yang bersangkutan dapat dibebaskan dari larangan ini apabila sudah memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu tiga kali berturut-turut sampel tinja yang diperiksa menunjukkan hasil negatif, khusus untuk daerah endemis schistosomiasis sampel yang diambil adalah sampel urin. Sampel diambil dengan interval satu bulan dan 48 jam setelah pemberian antibiotika terakhir. Sampel yang baik adalah tinja segar. Dan dari tiga sampel yang berturut-turut diambil dengan hasil negatif minimal satu sampel harus diambil dengan cara melakukan lavemen/klisma. Penelitian yang dilakukan akhir-akhir ini menemukan bahwa penggunaan derivat quinolone yang baru yang diberikan secara oral memberikan hasil yang baik untuk mengobati carrier walaupun ada kelainan empedu; untuk mengetahui apakah telah terjadi penyembuhan perlu dilakukan pemeriksaan kultur.
12). Untuk demam tifoid pemberian imunisasi tidak dianjurkan di AS. Saat ini imunisasi hanya diberikan kepada mereka dengan risiko tinggi seperti petugas laboratorium mikrobiologis, mereka yang bepergian kedaerah endemis, mereka yang tinggal didaerah endemis, anggota keluarga dengan carrier. Vaksin yang tersedia adalah vaksin oral hidup yang mengandung S. Typhi strain Ty21a (diperlukan 3 – 4 dosis dengan interval 2 hari), dan vaksin parenteral yang beredar adalah vaksin dosis tunggal yang berisi Vi antigen polisakarida. Vaksin oral yang berisi Ty21a jangan diberikan kepada penderita yang sedang mendapatkan pengobatan antibiotika atau pengobatan anti malaria, mefloquine. Oleh karena sering menimbulkan efek samping yang berat maka vaksin “whole cell” yang diinaktivasi dianjurkan untuk tidak digunakan. Vaksin dosis tunggal yang mengandung Vi antigen polisakarida adalah vaksin pilihan, karena kurang reaktogenik. Dosis booster perlu diberikan kepada mereka yang secara terus menerus mempunyai risiko tertular. Booster diberikan dengan interval antara 2 – 5 thun tergantung jenis vaksinnya. Demam paratifoid: ujicoba dilapangan dengan menggunakan vaksin oral tifoid (Ty21a) memberikan perlindungan parsial terhadap paratifoid, namun perlindungan yang diberikan tidak sebaik terhadap tifoid. 561

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya
1) Laporan kepada institusi kesehatan setempat; Tifoid wajib dilaporkan disebagian besar negara bagian dan negara didunia, kelas 2A (Lihat tentang pelaporan penyakit menular).
2) Isolasi: Pada waktu sakit, lakukan kewaspadaan enterik; sebaiknya perawatan dilakukan dirumah sakit pada fase akut. Supervisi terhadap penderita dihentikan apabila sampel yang diambil 3 kali berturut-turut dengan interval 24 jam dan 48 jam setelah pemberian antibiotika terakhir memberikan hasil negatif. Pengambilan sampel tidak boleh kurang dari satu bulan setelah onset. Sampel yang diambil adalah tinja dan urin untuk penderita di daerah endemis schistosomiasis. Jika salah satu sampel memberi hasil positif maka ulangi pembuatan kultur dengan interval satu bulan selama 12 bulan setelah onset, sampai 3 kali beturu-turut sampel yang diambil hasilnya negatif.
3) Disinfeksi serentak: Disinfeksi dilakukan terhadap tinja, urin dan alat-alat yang tercemar. Di negara maju dengan fasilitas sistem pembuangan kotoran yang baik, tinja dapat dibuang langsung kedalam sistem tanpa perlu dilakukan disinfeksi terebih dulu. Dilakukan pembersihan menyeluruh.
4) Karantina: Tidak dilakukan
5) Imunisasi terhadap kontak: Pemberian imunisasi rutin terhadap anggota keluarga, petugas kesehatan dengan vaksin tifoid kurang begitu bermanfaat walaupun mereka terpajan dengan penderita tifoid. Namun vaksinasi masih bermanfaat diberikan kepada mereka yang terpajan dengan carrier. Tidak ada vaksin yang efektif untuk demam paratifoid A. 6) Lakukan investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Sumber infeksi yang sebenarnya dan sumber infeksi yang potensial harus diidentifikasi dengan cara melakukan pelacakan penderita yang tidak dilaporkan, carrier dan melacak makanan, susu, air, kerang-kerangan yang terkontaminsai. Seluruh anggota grup pelancong yang salah satu anggotanya adalah penderita tifoid harus diamati. Titer antibodi terhadap purified Vi polysaccharide mengidentifikasikan yang bersangkutan adalah carrier. Jika ditemukan tipe phage yang sama pada organisme yang diisolasi dari penderita dan carrier menunjukan telah terjadi penularan.
7) Pengobatan spesifik: Meningkatnya resistensi terhadap berbagai macam strain menentukan jenis obat yang dipakai untuk terapi secara umum, untuk orang dewasa ciprofloxacin oral dianggap sebagai obat pilihan terutama untuk penderita tifoid di Asia. Belakangan ini dilaporkan bahwa telah terjadi penurunan sensitivitas pada penelitian in vivo terhadap berbagai strain Asia. Untuk strain lokal yang masih sensitf terhadap pengobatan maka obat-obatan oral seperti kloramfenikol, amoksisilin atau TMP-SMX (untuk anak-anak) masih cukup efektif untuk mengobati penderita akut. Sedangkan ceftriaxone obat parenteral yang diberikan sekali sehari sangat bermanfaat diberikan kepada penderita obtunded atau kepada penderita dengan komplikasi dimana tidak bisa diberikan pengobatan antibiotika oral. Pemberian kartikosteroid dosis tinggi dalam jagka pendek dikombinasikan dengan pemberian antibiotika serta terapi suportif membantu menurunkan angka kematian pada penderita berat. Untuk pengobatan kepada carrier lihat uraian pada bagian 9A11 diatas. Penderita schistosomiasis yang menderita tifoid selain 562 pemberian terapi untuk tifoidnya maka diberikan juga praziquantel untuk menghilangkan kemungkinan cacing schistosoma membawa basil S. Typhi

C. Penanggulangan wabah
1) Lakukan pelacakan secara intensif terhadap penderita dan carrier yang berperan sebagai smber peularan. Cari dan temukan media (air, makanan) yang tercemar yang menjadi sumber penularan.
2) Lakukan pemusnahan terhadap makanan yang diduga sebagai sumber penularan.  Lakukan pasteurisasi atau rebuslah susu yang akan dikonsumsi. Singkirkan seluruh suplai susu dan makanan yang diduga tercemar untuk tidak dikonsumsi pada saat sampai diketahui bahwa susu dan makanan tersebut aman untuk dikonsumsi.
 3). Terhadap sumber air yang diduga tercemar dilakukan klorinasi sebelum digunakan dengan supervisi yang ketat. Apabila tindakan klorinasi tidak dapat dilakukan, air dari sumber yang diduga tercemar tersebut jangan digunakan, semua air minum harus diklorinasi, diberi iodine atau direbus sebelum diminum.
4). Pemberian imunisasi secara rutin tidak dianjurkan.

D. Implikasi bencana
Di daerah/tempat penampungan pengungsi dimana persediaan air sangat terbatas dan fasilitas pembuangan kotoran tidak memadai serta tidak ada pengawasan terhadap makanan dan air, kemungkinan terjadi penularan demam tifoid sangat besar, apabila diantara para pengungsi tersebut terdapat penderita aktif atau carrier. Untuk mencegah terjadinya penularan dikalangan para pengungsi maka lakukan upaya untuk memperbaiki fasilitas penyediaan air minum dan fasilitas pembuangan kotoran. Pemberian imunisasi bagi kelompok-kelompok tertentu dapat dilakukan seperti terhadap anak sekolah, penghuni penjara, penghuni fasilitas tertentu, personil/staf rumah sakit atau terhadap pegawai kantor pemerintahan kabupaten/kota. Pemberian imunisasi terhadap kelompok ini cukup bermanfaat karena mereka hidup dalam komunitas yang terorganisir.

E. Tindakan internsional
1) Untuk demam tifoid: pemberian imunisasi dianjurkan untuk diberikan terhadap para wisatawan yang berkunjung kedaerah enemis, terutama apabila didaerah tersebut para wisatawan diduga akan terpajang dengan air dan makanan yang tercemar atau wisatawan diduga akan kontak dengan penduduk asli didaerah pedesaan. Imunisasi tidak diwajibkan bagi wisatawan yang akan berkunjung kesuatu negara.
 2) Untuk demam tifoid dan paratifoid manfaatkan pusat-pusat kerjasam WHO.

SUMBER
Anonim. 2008. Salmonella typhi.http://en.wikipedia.org/wiki/Salmonella_typhi.
Chin,James MD, MPH. Kandun, I Nyoman.2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Edisi 17. 

Razanahtulhaq Azzahra
E2A009089 R.1